Akad Dalam Perpekstif Islam

asslamu'alaikum sahabat fillah.. udah lama kami tidak update blogger...
karena saat ini kita sangat semarak dalam hal mua'malah dalam islam.. kali ini kami mencoba mengkaji tentang "Akad Dalam Perpekstif Islam".. semoga bermanfaat.. bila ada kekurangan mohon di komentar ya.....





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya yang lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
Terkait dengan itu, al-Qur’an mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok. Al-Qur’an mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al-Qur’an mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al-Qur’an memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama.
Salah satu ajaran al-Qur’an yang paling penting dalam masalah pemenuhan akad, yaitu kewajiban menghormati semua akad dan memenuhi semua kewajiban yang telah disepakati bersama. Selain itu, al-Qur’an juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban berkaitan dengan akad yang dilakukannya. Dengan demikian, al-Qur’an memberikan pesan bahwa setiap orang yang melakukan akad harus selalu berbuat keadilan dan menepati janji sebagaimana yang telah disepakati bersama.
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi saat ini adalah perkembangan ekonomi dan bisnis yang semakin pesat, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya berbagai penyimpangan dan penyelewengan dalam aktifitas ekonomi dan bisnis di masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai atau asas ekonomi dan bisnis dalam Islam. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan progresif memiliki peran yang sangat urgen untuk menjawab berbagai macam persoalan khususnya terkait dengan transaksi ekonomi dan bisnis yang semakin komplek.
Para Ulama klasik sebenarnya sudah membahas berbagai persoalan ekonomi dan bisnis, termasuk masalah asas-asas muamalah, akad dan bentuknya. Akan tetapi, melihat perkembangan ekonomi dan bisnis di masyarakat yang semakin komplek, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, BMT, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya. Hal ini pasti menuntut penjustifikasian dari aspek syariah. Oleh karena itu, perlu  kiranya untuk mengkaji dan mendiskusikan kembali mengenai teori akad dan implikasinya dalam rangka merespon perkembangan ekonomi dan bisnis yang sesuai dengan maqashid syariah.
Sebagaimana saran para ahli hukum Islam untuk menjawab kebutuhan di atas, maka pengkajian hukum Islam di zaman modern ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik.  Dengan demikian, membahas dan mengkaji teori akad dan implikasinya sangat penting. Karena itu merupakan syarat yang utama bagi orang yang melakukan aktifitas ekonomi dan bisnis dan memiliki akibat hukum bagi pihak yang berakad. Oleh karena itu, untuk pembahasan permasalah lebih fokus, maka penulis mengangkat sebuah pertanyaan bagaimana teori akad dan implikasinya dalam bisnis Islam dan hubungannya dengan maqashid syariah?

1.2    Rumusan Masalah
1.        Apakah yang dimaksud dengan akad
2.        Apa landasan hukum dari akad
3.        Apa saja prinsip-prinsip dari akad
4.        Apa saja yang termasuk ke dalam rukun dan syarat akad
5.        Apa saja yang termasuk  kedalam jenis-jenis akad
6.        Bagaimana yang dimaksud dengan implikasi dan konsekuensi hukum dalam akad
7.        Bagaimana kaidah fiqh tentang akad dan contohnya
1.3    Tujuan
1.    Mengetahui apa pengertian akad
2.    Mengetahui apa landasan hukum dari akad
3.    Mengetahui apa saja prinsip-prinsip dari akad
4.    Mengetahu rukun-rukun dan syarat dalam akad
5.    Mengetahui jenis-jenis akad
6.    Mengetahui bagaimana implikasi akad beserta konsekuensi hukumnya
7.    Mengetahui kaidah fiqh tentang akad beserta contohnya
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Akad
Akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqd adalah bentuk masdar dari kata ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqud yang berarti perjanjian (yang tercatat) atau kontrak.[1]  Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa kata al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). [2]Dari pengertian akad secara bahasa ini, maka akad secara bahasa adalah pertalian yang mengikat.
Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad diatas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akad dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga adanya akibat hukum pada objek perikatan.[3]
Adapun pengertian akad menurut istilah, disini ada beberapa pendapat diantaranya adalah Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini bahwa akad adalah hubungan / keterkaitan antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.[4] Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak.[5]  Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.
Dengan demikian, persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang sedang menjalin ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam menjalankan akad adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada pihak yang terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka penting untuk membuat batasan-batasan yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak antar pihak yang sedang melaksanakan akad tersebut.
2.2  Landasan Hukum
Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ( 5:1 ) yang berbunyi:
يَااَيُّهَاالّذِيْنَ امَنُوْا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْأَ نْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلى عَلَيْكُمْ غَيْرَمُحِلِّى الصّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌ اِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَايُرِيْدُ (سورة الما ئدة:1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.   dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat ini merupakan asas ‘Uqud.[6]

2.3  Prinsip Akad
Prinsip akad adalah aturan-aturan atau norma dasar yang harus wujud pada setiap transaksi yang dilakukan. Hubungan antara manusia dan hamba Allah tanpa merinci agama yang dianut memberikan suatu prinsip universal ajaran islam. Karena itu dalam setiap akad yang dilakukan tidak menempatkan persoalan kepercayaan, kebangsaan atau lainnya dalam melakukan hubungan kehidupan. Setiap traksaksi yang dijalankan harus eksis maslahat di dalamnya, prinsip-prinsip tersebut antara lain:[7]
a.       Prinsip keadilan
Keadilan merupakan nilai yang menjadi pedoman dasar dalam setiap melakukan akad. Konsep keadilan dalam transaksi adalah setiap transaksi harus sesuai dengan garis ajaran islam. Salah satunya adalah akad yang dilakukan tidak dilarang oleh syariat seperti melakukan penipuan.
b.      Prinsip al-Musawwah
Persamaan merupakan konsep persaudaraan universal dalam ajaran islam. Melaksanakan suatu akad tidak mengenal diskriminasi, dengan siapa pun akad dapat dilaksanakan asal memenuhi kriteria yang sesuai dengan ajaran islam. Jika dalam akad melakukan diskriminasi berarti hal tersebut melawan keadilan tuhan.
c.       Prinsip Kerelaan
Prinsip kerelaan merupakan salah satu acuan dasar dalam melaksanakan akad dalam islam. Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak boleh ada tekanan, paksaan dan penipuan. Jika hal ini tejadi dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur suka rela ini menunjukkan keikhlasan dan iktikad baik dari para pihak.[8]

2.4  Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari: [9]
1.      Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad)
2.      Ma’qud ‘Alaih (objek akad)
3.      Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
4.      Tujuan akad
Berbeda dengan jumhur Ulama, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya satu yaitu sighat al-‘aqd. Bagi Madzhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Unsur pokok tersebut hanyalah pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan esensi akad. Maka mereka memandang pihak dan objek akad bukan rukun. Meskipun demikian mereka tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan objek akad merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya di luar esensi akad, para pihak dan objek akad merupakan syarat, bukan rukun.[10]
Berdasarkan beberapa rukun di atas, agar akad dapat terbentuk dan mengikat antar para pihak maka dibutuhkan beberapa syarat akad. Oleh karena itu, rukun dan syarat akad tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad).
Yaitu pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Terkait dengan ini, Ulama fiqh memberikan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang berakad, yakni ia harus memiliki ahliyah dan wilayah.[11] Ahliyah memiliki pengertian bahwa keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi, seperti baligh dan berkala.  Dalam hal ini ahliyah (kecakapan) dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut dengan ahliyyatul wujub yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak hukum yang disebut dengan ahliyyatul ada’, yang bersifat aktif.[12]
Ahliyyatul wujub (kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah kecakapan seseorang untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris, hak atas ganti rugi atas sejumlah kerusakan harta miliknya. Ahliyyatul wujub ini bersumber dari kehidupan dan kemanusiaan. Dengan demikian, setiap manusia sepanjang masih bernyawa, ia secara hukum dipandang cakap memiliki hak, sekalipun berbentuk janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Hanya saja ketika masih berada dalam kandungan, kecakapan tersebut belum sempurna, karena subjek hukum hanya cakap untuk menerima beberapa hak secara terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqisah). Setelah lahir, barulah kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yakni cakap untuk menerima hak dan kewajiban sampai ia meninggal dunia. Hanya saja kecakapan ini ketika berada pada masa kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian meningkat pada perode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa.[13]
Adapun ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah kecakapan seseorang untuk melakukan tasharruf (tindakan hukum) dan dikenai pertanggungjawaban atas kewajiban yang muncul dari tindakan tersebut, yang berupa hak Allah maupun hak manusia. Artinya, kecakapan ini adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber atau sandaran dari kecakapan ini adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat membedakan antara dua hal yang berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah dan benar dan sebagainya. Kedua, berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode tamyiz ini, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena tindakan hukumnya hanya dapat dipandang sah dalam beberapa hal tertentu. Karena itu, kecakapan bertindak seseorang yang mumayyiz yang berakal sehat dinamakan ahliyyatul ada an-naqisah (kecakapan bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya dapat dilakukan sesorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna (ahliyyatul ada` kamilah), yakni orang yang telah mencapai usia akil baligh dan berakal sehat.[14]
Sedangkan wilayah dapat diartikan sebagai hak atau kewenangan seseorang yang mendapat legalitas syari’ untuk melakukan transaksi atas suatu objek tertentu. Artinya, orang tersebut merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu objek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya.[15]  Berdasarkan kedua syarat di atas, setiap transaksi yang tidak memenuhi kedua syarat yaitu ahliyah dan wilayah maka orang yang melakukan transaksi atau akad tersebut tidak dibenarkan oleh syara’ dan dinyatakan batal.
2.      al-Ma’qud ‘Alaih (objek akad).
      Yaitu objek akad dimana transaksi dilakukan atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu. Objek akad ini bisa berupa aset-aset finansial (sesuatu yang berrnilai ekonomis) atau aset non finansial, seperti wanita dalam akad pernikahan, ataupun bisa berupa manfaat seperti halnya dalam akad sewa-menyewa, jual beli, dan lain-lain.[16] Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
Ø Objek akad harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan. Tidak diperbolehkan bertransaksi atas objek yang belum jelas.  Hal ini didasarkan hadis Rasulullah SAW yang melarang siapapun menjual barang yang bukan miliknya, atau barangnya tidak ada.  Hakim bin Hazm berkata: Aku berkata kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku hendak membeli sesuatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjual barang dari pasar.’ Maka Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya:“Janganlah engkau menjual apa yang tidak ada padamu” (HR. Abu Dawud No. 3503).
Ungkapan Nabi SAW ma laisa ‘indak (yang tidak ada padamu) bersifat umum mencakup apa yang tidak dimiliki, barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli akibat tidak adanya kemampuan, dan barang yang belum sempurna pemilikannya.  Dengan demikian, jelas bahwa semua barang yang tidak ada atau bukan miliknya tidak dapat diserahkan atau diperjualbelikan. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, yang membolehkan objek akad tidak ada saat kontrak, namun objek tersebut harus dapat dipastikan adanya kemudian hari, sehingga bisa diserahterimakan.
Terkait dengan itu, ulama fiqh mengecualikan beberapa bentuk akad yang barangnya belum ada. Seperti jual beli pesanan (salam), istisna’, ijarah, dan musaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya). Alasan pengecualiaan ini adalah karena akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat kebiasaan (‘urf )  melakukan akad-akad seperti ini.[17] Berdasarkan perbedaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa objek akad yang tidak ada pada waktu akad, namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, jika objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah.
Objek akad harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.  Misalnya dalam akad jual beli, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam. Begitu juga barang yang belum berada dalam genggaman pemilik, seperti ikan yang masih dalam lautan dan burung di angkasa.  Atau  juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memenuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan, dan sungai.[18]
Ø Adanya kejelasan tentang objek akad. Dalam arti, barang tersebut diketahui secara detail oleh kadua belah pihak, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari.   Artinya, bahwa objek akad tersebut tidak mengandung unsur gharar  dan bersifat majhul (tidak diketahui).
Ø Objek akad bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan kemudian hari.  Dengan demikian, walaupun barang tersebut ada dan dimiliki, namun tidak bisa diserahterimakan, maka akad tersebut dinyatakan batal.

3.      Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
Sighat al-‘Aqd merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan/kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak / akad.  Dalam hal ini, adanya kesesuain ijab dan kabul (munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majelis akad.  Satu majelis di sini diartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan, atau pertemuan pembicaraan dalam satu objek transaksi. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesepakatan antara kedua pihak, tidak menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan dari keduanya.  Sighat al-‘Aqd (Ijab dan kabul) dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk (sighat) yang dapat menunjukkan kehendak dan kesepakatan. Bisa dengan menggunakan ucapan, tindakan, isyarat, ataupun koresponden.[19] Namun, seiring dengan perekembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Artinya, terjadi pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati).  Misalnya, jual beli yang terjadi di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi.  Dengan demikian, dalam kontek ini dapat dikatakan bahwa ucapan dapat diungkapkan dalam berbagai macam bentuk dan yang terpenting juga adalah ucapan / ungkapan tersebut bisa mewakili maksud dan tujuan akad
4.      Tujuan Akad
Tujuan akad merupakan pilar terbangunnya sebuah akad, sehingga dengan adanya akad yang dilakukan tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu, tujuan merupakan hal yang penting karena ini akan berpengaruh terhadap implikasi tertentu. Tujuan akad akan berbeda untuk masing-masing akan yang berbeda. Untuk akad jual beli, tujuan akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah (sewa-menyewa), tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang dengan adanya upah sewa. Motif  yang dimiliki oleh seorang tidak berpengaruh terhadap bangunan akad. Akad akan tetap sah sepanjang motif yang bertentangan dengan syara’ tidak diungkapkan secara verbal dalam prosesi akad.[20] Misalnya, seseorang menyewa sebuah gedung atau rumah, akad sewa tetap sah dan penyewa berhak untuk memiliki nilai manfaat sewa serta berkewajiban untuk membayar upah. Walaupun mungkin, ia memiliki motif akan menggunakan gedung atau rumah tersebut untuk memproduksi narkoba.
Dengan demikian, motif dengan tujuan sangatlah berbeda karena motif tidak bisa membatalkan akad. Kalau melihat contoh di atas, maka secara dzahir akad tersebut tetap sah tanpa melihat yang tidak sesuai dengan syara’. Motif seperti ini dihukumi makruh tahrim karena adanya motif yang tidak sesuai dengan syara’.  Dari penjelasan mengenai rukun dan syarat akad di atas. Maka bisa dipahami bahwa rukun dan syarat akad merupakan unsur yang penting dalam pembentukan sebuah akad. Oleh karena itu, ulama merumuskan hal tersebut dalam rangka untuk mempermudah pihak yang akad dalam menyelesaikan perselisihan yang akan muncul dikemudian hari.  

2.5  Jenis-Jenis Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variabel jenis-jenis akad.
Mengenai pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi penggolongannya. Secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad antara lain:[21]
a.       Akad menurut tujuannya terbagi atas dua jenis:
1)        Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari Return atau pun motif. Akad yang termasuk dalam ketagori ini adalah: Hibah, Waqaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qirad. Atau dalam redaksi lainakad tabarru adalah segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.
2)        Akad Tijari yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: mudharabah dan musyarakah. Atau dalam redaksi lain akad tijari adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, karena itu bersifat komersial.[22]
b.      Akad menurut keabsahannya terbagi atas tiga jenis:
1)      Akad Shahih (valid Contract), yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli aau perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
2)      Akad Fasid (voidable contract) yaitu akad  yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat tersebut, dengan kata lain akibat hukumnya adalah mawquf (berhenti dan tertahan untuk sementara)
3)      Akad Bathal (void contract) yaitu akad dimana  salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otoats syaratnya juga tidak terpenuhi. Akad seperti ini tida menimblkan akibat hukum perpindaha harta (harga/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.[23]
c.       Akad menurut namanya, akad dibedakan menjadi:
1)      Akad bernama (al-‘uqud al-musamma)
Yang dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah dibentuk namnya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Akad bernama meliputu sebagai berikut: sewa- menyewa (al-ijarah), pemesanan (al-istshna), jual beli (al-bai’), penangungan (al-kafalah), pemindahan hutang (al-hiwalah), pemberi kuasa (al-wakalah), Persekutuan (asy-syirkah), bagi hasil (al-mudharabah), pegadaian (ar-rahn), penitipan (al-wadia’ah), perutangan (al-qardh).
2)      Akad tidak bernama (al-‘uqud ghair al-musamma)
Akad yang tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam kata lain akad yang tidaj bernama adalah akad yang tidaj ditentukan pembuat hukum namanya yaang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak bernama adalah perjanjian penerbitan, periklanan dan sebagainya.[24]
d.      Akad menuruut kedudukannya dibedakan menjadi dua yaitu:
1)        Akad yang pokok  (al-‘aqd al-ashli)
Akad pokok adalah adalah akda yang  berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal yang lain. Termasuk kedalam jenis ini adalah seua akad yang keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad  jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai dan seterusnya.
2)        Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Termasuk kedalam kategori ini adalah akad penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn). Kedua akad ini merupakan perjanjian untuk menjamin, karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak ada.[25]
e.       Akad dari segi unsur tempo di bagi menjadi akad bertempo dan tidak bertempo.
1)      Akad bertempo adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam kategori ini misalnya, akad sewa menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai, akad pemberian kuasa, akad berlangganan majalahatau surat kabar dan lain-lain.
2)      Akad tidak bertempo adalah akad dimana unsur waktu bukan merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.[26]
f.       Akad dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’ dibedakan menjadi dua.
1)      Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa menyewa, mudharabah dan sebagainya.
2)      Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat oleh akad jual beli janin, akad donasi harta anak dibawah umum akad ang bertentangan dengan akhlak islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk melakukann kejahatan.[27]
g.      Akad menurut tanggungan dibagi menjaadi dua.
1)      aqd adh-dhaman adalah akad  yang mengalihkan tanggungan resiko atau kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi  dari pelaksaan akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
2)      aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah ditangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan melawan hukum termasuk akad jenis ini adalah akad penitian akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).[28]

2.6  Implikasi Akad dan konsekuensi Hukumnya
            Menurut ulama fiqh setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula.  Artinya setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan akad, memiliki tujuan dasar, memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkannya. Seperti perpindahan kepemilikan dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat bagi penyewa dalam akad ijarah (sewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn, dan lainnya. Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban di antara pihak yang berakad. Misalnya dalam jual beli, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga atas objek akad dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang, dan berhak menerima uang sebagai konpensasi barang. Demikian juga akad-akad yang lain pasti memiliki akibat hukum sesuai dengan bentuk akad yang dibentuk oleh kedua belah pihak.
Menurut para ulama fiqh, setiap akad ini mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal yang dibenarkan syara’ seperti terdapat cacat pada obyek akad atau akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.
Dibawah ini terdapat tiga akad dan konsekuensi hukumnya, yaitu:
1.      Akad yang mengikat kedua belah pihak, maksud kata “mengikat” disini ialah bila suatu akad telah selesai dijalankan dengan segala persyaratannya, maka konsekuensi akad tersebut sepenuhnya harus dipatuhi dan siapapun tidak berhak untuk membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan dan pihak kedua, kecuali bila terjadi cacat pada barang yang menjadi objek akad tersebut
2.      Akad yang mengikat salah satu pihak saja, sehingga pihak pertama tidak berhak untuk membatalkan akad ini tanpa izin dan kerelaan pihak kedua, akan tetapi pihak kedua berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka
3.      Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak, maksudnya masing-masing pihak berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka dan walaupun tanpa seizin dari pihak kedua dan walaupun tanpa ada cacat pada obyek akad tersebut.





2.7  Kaidah Fiqh Tentang Akad
Adapun  kaidah Fiqh yang membahas tentang keridhaan dalam bertransaksi adalah sebagai berikut:
اْلأَصْلُ فِي اْلعَقْدِ رِضَى الْمتَعَاقِدَيْنِ
Artinya:“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad
Maksud dari kaidah di atas bahwa keridhaan dalam transaksi ekonomi dan bisnis merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu, transaksi dikatakan sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.

Kaidah ini telah ditunjukkan  oleh Al-quran dalam surat An-nisa’ ayat 29, Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا لَاتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَاتَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا (سورة النساء:29)

Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah Maha penyayang kepadamu”.

Dari ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan antara kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.[29]
Adapun kaidah di atas merupakan kaidah kecil yang diturunkan oleh asas kaidah-kaidah fiqh,  yaitu:
الضَّرَرُ يُزَالُ
 Kaidah ini merupakan salah satu dari kaidah yang sangat substansial di dalam ilmu fiqh, yang mana pada dasarnya  kaidah ini menjelaskan tentang wajib nya menghilangkan kemudharatan, berikut ayat Al-quran yang mendasari kaidah tersebut dalam surat Al-baqarah ayat 231:[30]

وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَغْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَغْرُوْفٍ  وَلَا تَمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوْا،،،،
Artinya: Dan apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu sampai (akhir) idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula, jangan rujuki mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Ayat diatas walaupun secara eksplisit hanya menjelaskan tentang aturan talaq, akan tetapi secara implisit melarang berbuat atau menyebabkan bahaya kepada orang lain. Begitu pula dalam hal jual beli, harus ada saling kerelaan antara kedua belah pihak. Pihak penjual maupun pembeli harus menghindari adanya penipuan, dan jika ada pihak yang tertipu maka ia berkenan membatalkan kembali transaksi dan meminta uangnya kembali, karena dasar dalam akad adanya keridhaan dari kedua belah pihak.
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan pada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.
Berikut contohnya dalam akad jual beli salam:
a)        Pengertian jual beli salam
Adapun jual beli salam adalah transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo dengan harga yang di berikan kontan di tempat transaksi.[31]
Akad salam adalah penjualan sesuatu yang akan datang dengan imbalam sesuatu yang sekarang, atau menjual sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan. Maksudnya, modal diberikan diawal dan menunda barang hingga tenggat waktu tertentu. Atau dengan kata lain menyerahkan barang tukaran saat ini dengan  imbalan barang yang dijelasakan sifatnya dalam tanggungan hingga jarak waktu tertentu.
b)        Rukun dan Syarat Jual beli salam
1.      Rukun Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun salam menurut jumhur ulama ada 3 yaitu:
Ø  Sighat, yaitu ijab dan Kabul
Ø  ‘aqidani (dua orang yang melakukan transaksi), yaitu orang yang   memesan dan orang yang menerima pesanan, dan
Ø  Objek transaksi, yaitu harga dan barang yang dipesan.

2.      Syarat-syarat salam
Adapun syarat-syarat dalam jual beli salam pada umumnya sebagai berikut:
Ø  Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
Ø  Barangnya menjadi utang bagi penjual.
Ø  Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan, Berarti pada waktu dijanjikan barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang waktunya di tentukan bukan pada musimnya tidak sah.
Ø  Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
Ø  Diketahui dan disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda.
Ø  Disebutkan tempat menerimanya.
Para ulama sepakat bahwa akad salam dianggap sah jika terpenuhi enam syarat, yaitu:
Ø Jenis barang diketahui
Ø Ciri-ciri barang diketahui
Ø Ukuran yang diketahui
Ø Modal yang diketahui
Ø Menyebutkan tempat penyerahan barang jika penyerahan itu membutuhkan tenaga
Ø Biaya
Sebagaimana rukun dan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan syarat-syarat dan kriteria tertentu dan juga pembayaran dilakukan di muka. Oleh karena itu barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Hal tersebut bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan antara si penjual dan pembeli. Dengan demikian, Ketika barang nya di terima tidak terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli mengenai barang yang bersangkutan.
Berdasarkan Uraian tentang akad salam jika kita merujuk kembali pada kaidah akad  di atas bahwa dalam melakukan transaksi jual beli salam harus ada keridhaan antara kedua belah pihak, pihak penjual harus menjelaskan secara detail mengenai spesifikasi barang yang dijual sehingga adanya kejelasan yang tidak merugikan salah satu pihak. Dan apabila pesanan tidak sesuai dengan kriteria yang telah disepakati, maka si pembeli berhak memulangkan atau menukar kembali barang yang sudah dipesan tersebut tanpa merugikan pihak pembeli.
Oleh karena itu, perlu di perhatikan syara-syarat dalam jual beli, sehingga adanya saling ridha dan tanpa paksaan antara penjual dan pembeli, adanya kejelasan dalam akad atau perjanjian. Karena seluruh akad tidaklah sempurna kecuali disertai saling ridha antara orang-orang yang melaksanakan akad  tersebut yang mana akad-akad tersebut mengkonsekuensikan perpindahan kepemilikan dan hak dari satu pihak kepada pihak yang lain atau merubah suatu kedaan kepada keadaan yang lain, dan kesemua itu mengharuskan adanya kerelaan (saling ridha).


















BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Terlepas dari semua penjelasan di atas, maka penulis di sini dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa teori akad merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikaji dalam rangka merespon perkembangan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini. Karena akad tersebut menentukan sah dan tidaknya transaksi yang dilakukan. Selain itu, perlu diperhatikan juga adalah implikasi hukum terhadap para pihak yang melakukan transaksi setelah akad tersebut terbentuk.
Oleh karena itu, para pihak yang sedang berakad hendaknya memperhatikan penjelasan asas-asas akad yang telah ditetapkan. Sehingga transaksi yang dilakukan benar-benar bermanfaat terhadap para pihak yang berakad, adanya kerelaan antara kedua belah pihak sehingga tidak merugikan salah satu pihak.






















Daftar Pustaka

Afandi, Yazid. 2009.  Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Sudirman, Ahmad Abbas. 2004. Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk. 1993. Tafsir Al-Maraghi, , Terjemahan Tafsir Al Maraghi (Juz VI). Cet II Semarang : PT. Karya Toha Putra.
Anwar, Syamsul.  2007. Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: Rajawali Pers.
Ash-Shieddieqy, T.M. Hasbi. 1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1989.  al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV. Damaskus: Dar al-Fikr.
Basyir, Ahmad Azhar. 2000.  Asas-asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press.
Djuwaini, Dimyauddin. 2010.  Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Munawwir, A. W.  1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Nurdin, Ridwan. 2010. Fiqh Muamalah (Sejarah Hukum dan Perkembangannya), Banda Aceh: PeNA.
 Shihab, M. Quraish. 2001. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. (jilid 2 dan 3). Ciputat: Lintera Hati








[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 953.
[2] Abdul Aziz Dahlan dan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeva, 2001), hlm. 63.
[3] Dr, Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 73.
[4] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 48
[5] T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), hlm. 21.
[6] Ahmad Mustafa Al-Maraghi diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II, Juz VI, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993), Juz VI, hlm. 81
[7] Dr. Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah (Sejarah Hukum dan Perkembangannya), (Banda Aceh:PeNA, 2010), hlm 25.
[8] Dr. Mardani, Op. Cit., hlm 97.
[9] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 34.
[10] Ibid, hlm 34.
[11] Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit., hlm 55-56.
[12] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 109.
[13] Ibid, hlm 111
[14] Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Jilid  IV) , (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), , hlm. 121-122.
[15] Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit., hlm 56.
[16] Ibid, hlm 57.
[17] Abdul Azis Dahlan dkk, Op. Cit., hlm 65.
[18] Ahmad Azhar Basyir,  Asas-asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm 52.
[19] Dimyauddin Djuwaini, Op.Cit., hlm 51.
[20] Ibid, hlm 59.
[21] Dr. Mardani, Op. Cit., hlm 77.
[22] Ibid, hlm 77.
[23] Ibid, hlm 78.
[24] Ibid, hlm 78-79
[25] Ibid, hlm 81-82.
[26] Ibid, hlm 82
[27] Ibid, hlm 83-84.
[28] Ibid, hlm 58-56
[29] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, jilid 2,  (Ciputat: Lintera Hati, 2001), , hlm. 413.
[30] Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih, (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 2004), hlm 126.
[31] Mardani, Op. Cit. Hlm 113.
Akad Dalam Perpekstif Islam
Item Reviewed: Akad Dalam Perpekstif Islam 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!