asslamu'alaikum sahabat fillah.. udah lama kami tidak update blogger...
karena saat ini kita sangat semarak dalam hal mua'malah dalam islam.. kali ini kami mencoba mengkaji tentang "Akad Dalam Perpekstif Islam".. semoga bermanfaat.. bila ada kekurangan mohon di komentar ya.....
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan
dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia
sangat beragam, sehingga secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus
berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain
dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan
kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan
dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya yang lazim disebut dengan proses untuk
berakad atau melakukan kontrak.
Terkait dengan itu, al-Qur’an mengakui legitimasi bisnis, dan juga
memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar
individu maupun kelompok. Al-Qur’an mengakui hak individu dan kelompok untuk
memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan.
Al-Qur’an mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal
oleh seorang individu atau kelompok. Al-Qur’an memberikan kemerdekaan penuh
untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan
batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Oleh karena itu, penghormatan hak
hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama.
Salah satu ajaran al-Qur’an yang paling penting dalam masalah
pemenuhan akad, yaitu kewajiban menghormati semua akad dan memenuhi semua
kewajiban yang telah disepakati bersama. Selain itu, al-Qur’an juga
mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban berkaitan dengan
akad yang dilakukannya. Dengan demikian, al-Qur’an memberikan pesan bahwa
setiap orang yang melakukan akad harus selalu berbuat keadilan dan menepati
janji sebagaimana yang telah disepakati bersama.
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi saat ini adalah
perkembangan ekonomi dan bisnis yang semakin pesat, sehingga tidak menutup
kemungkinan akan terjadinya berbagai penyimpangan dan penyelewengan dalam
aktifitas ekonomi dan bisnis di masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai atau
asas ekonomi dan bisnis dalam Islam. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai hukum
yang hidup dan progresif memiliki peran yang sangat urgen untuk menjawab
berbagai macam persoalan khususnya terkait dengan transaksi ekonomi dan bisnis
yang semakin komplek.
Para Ulama klasik sebenarnya sudah membahas berbagai persoalan
ekonomi dan bisnis, termasuk masalah asas-asas muamalah, akad dan bentuknya.
Akan tetapi, melihat perkembangan ekonomi dan bisnis di masyarakat yang semakin
komplek, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis
syariah seperti perbankan, BMT, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya.
Hal ini pasti menuntut penjustifikasian dari aspek syariah. Oleh karena itu,
perlu kiranya untuk mengkaji dan
mendiskusikan kembali mengenai teori akad dan implikasinya dalam rangka
merespon perkembangan ekonomi dan bisnis yang sesuai dengan maqashid syariah.
Sebagaimana saran para ahli hukum Islam untuk menjawab kebutuhan di
atas, maka pengkajian hukum Islam di zaman modern ini hendaknya ditujukan
kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah
dikemukakan oleh para fuqaha klasik.
Dengan demikian, membahas dan mengkaji teori akad dan implikasinya
sangat penting. Karena itu merupakan syarat yang utama bagi orang yang
melakukan aktifitas ekonomi dan bisnis dan memiliki akibat hukum bagi pihak
yang berakad. Oleh karena itu, untuk pembahasan permasalah lebih fokus, maka
penulis mengangkat sebuah pertanyaan bagaimana teori akad dan implikasinya
dalam bisnis Islam dan hubungannya dengan maqashid syariah?
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan akad
2.
Apa
landasan hukum dari akad
3.
Apa
saja prinsip-prinsip dari akad
4.
Apa
saja yang termasuk ke dalam rukun dan syarat akad
5.
Apa
saja yang termasuk kedalam jenis-jenis
akad
6.
Bagaimana
yang dimaksud dengan implikasi dan konsekuensi hukum dalam akad
7.
Bagaimana
kaidah fiqh tentang akad dan contohnya
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui
apa pengertian akad
2.
Mengetahui
apa landasan hukum dari akad
3.
Mengetahui
apa saja prinsip-prinsip dari akad
4.
Mengetahu
rukun-rukun dan syarat dalam akad
5.
Mengetahui
jenis-jenis akad
6.
Mengetahui
bagaimana implikasi akad beserta konsekuensi hukumnya
7.
Mengetahui
kaidah fiqh tentang akad beserta contohnya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Akad
Akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqd adalah bentuk
masdar dari kata ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqud yang berarti
perjanjian (yang tercatat) atau kontrak.[1] Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa
kata al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).
[2]Dari
pengertian akad secara bahasa ini, maka akad secara bahasa adalah pertalian
yang mengikat.
Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan
antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya
pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad diatas
mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak
untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akad dilakukan dalam suatu hal
yang khusus. Akad ini diwujudkan pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai
dengan kehendak syariat. Ketiga adanya akibat hukum pada objek perikatan.[3]
Adapun pengertian akad menurut istilah, disini ada beberapa
pendapat diantaranya adalah Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh Al Islami
wa adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini bahwa akad adalah
hubungan / keterkaitan antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan
oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.[4] Sedangkan
menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara ijab dengan
qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah
pihak.[5] Berdasarkan definisi di atas, maka dapat
dipahami bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan
memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.
Dengan demikian, persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang
sedang menjalin ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam menjalankan
akad adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada pihak
yang terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka penting untuk membuat
batasan-batasan yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak antar pihak yang
sedang melaksanakan akad tersebut.
2.2
Landasan Hukum
Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini adalah firman Allah dalam
al-Qur’an Surat al-Maidah ( 5:1 ) yang berbunyi:
يَااَيُّهَاالّذِيْنَ امَنُوْا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ
اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْأَ نْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلى عَلَيْكُمْ غَيْرَمُحِلِّى
الصّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌ اِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَايُرِيْدُ (سورة الما ئدة:1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu. dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa
setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan
baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan
barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat ini merupakan asas ‘Uqud.[6]
2.3
Prinsip Akad
Prinsip akad adalah aturan-aturan atau norma dasar yang harus wujud
pada setiap transaksi yang dilakukan. Hubungan antara manusia dan hamba Allah
tanpa merinci agama yang dianut memberikan suatu prinsip universal ajaran
islam. Karena itu dalam setiap akad yang dilakukan tidak menempatkan persoalan
kepercayaan, kebangsaan atau lainnya dalam melakukan hubungan kehidupan. Setiap
traksaksi yang dijalankan harus eksis maslahat di dalamnya, prinsip-prinsip
tersebut antara lain:[7]
a.
Prinsip
keadilan
Keadilan
merupakan nilai yang menjadi pedoman dasar dalam setiap melakukan akad. Konsep
keadilan dalam transaksi adalah setiap transaksi harus sesuai dengan garis
ajaran islam. Salah satunya adalah akad yang dilakukan tidak dilarang oleh
syariat seperti melakukan penipuan.
b.
Prinsip
al-Musawwah
Persamaan
merupakan konsep persaudaraan universal dalam ajaran islam. Melaksanakan suatu
akad tidak mengenal diskriminasi, dengan siapa pun akad dapat dilaksanakan asal
memenuhi kriteria yang sesuai dengan ajaran islam. Jika dalam akad melakukan
diskriminasi berarti hal tersebut melawan keadilan tuhan.
c.
Prinsip
Kerelaan
Prinsip
kerelaan merupakan salah satu acuan dasar dalam melaksanakan akad dalam islam.
Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan
antara masing-masing pihak tidak boleh ada tekanan, paksaan dan penipuan. Jika
hal ini tejadi dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur suka rela ini
menunjukkan keikhlasan dan iktikad baik dari para pihak.[8]
2.4
Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak
adanya rukun menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun
akad terdiri dari: [9]
1.
Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad)
2.
Ma’qud
‘Alaih (objek akad)
3.
Sighat
al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
4.
Tujuan
akad
Berbeda dengan jumhur Ulama, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun
akad hanya satu yaitu sighat al-‘aqd. Bagi Madzhab Hanafi, yang dimaksud
dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Unsur pokok
tersebut hanyalah pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan
kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan
esensi akad. Maka mereka memandang pihak dan objek akad bukan rukun. Meskipun
demikian mereka tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan objek akad
merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya di luar
esensi akad, para pihak dan objek akad merupakan syarat, bukan rukun.[10]
Berdasarkan beberapa rukun di atas, agar akad dapat terbentuk dan
mengikat antar para pihak maka dibutuhkan beberapa syarat akad. Oleh karena
itu, rukun dan syarat akad tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad).
Yaitu pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya dalam hal jual
beli mereka adalah penjual dan pembeli. Terkait dengan ini, Ulama fiqh
memberikan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang
berakad, yakni ia harus memiliki ahliyah dan wilayah.[11] Ahliyah
memiliki pengertian bahwa keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk
melakukan transaksi, seperti baligh dan berkala. Dalam hal ini ahliyah (kecakapan)
dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut dengan ahliyyatul wujub
yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak hukum yang disebut dengan ahliyyatul
ada’, yang bersifat aktif.[12]
Ahliyyatul wujub
(kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah kecakapan seseorang
untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris, hak atas ganti rugi
atas sejumlah kerusakan harta miliknya. Ahliyyatul wujub ini bersumber
dari kehidupan dan kemanusiaan. Dengan demikian, setiap manusia sepanjang masih
bernyawa, ia secara hukum dipandang cakap memiliki hak, sekalipun berbentuk
janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Hanya saja ketika masih berada
dalam kandungan, kecakapan tersebut belum sempurna, karena subjek hukum hanya
cakap untuk menerima beberapa hak secara terbatas dan ia sama sekali tidak
cakap untuk menerima kewajiban. Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan
kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqisah).
Setelah lahir, barulah kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum
sempurna, yakni cakap untuk menerima hak dan kewajiban sampai ia meninggal
dunia. Hanya saja kecakapan ini ketika berada pada masa kanak-kanak bersifat
terbatas, kemudian meningkat pada perode tamyiz dan meningkat lagi pada periode
dewasa.[13]
Adapun ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah
kecakapan seseorang untuk melakukan tasharruf (tindakan hukum) dan dikenai
pertanggungjawaban atas kewajiban yang muncul dari tindakan tersebut, yang
berupa hak Allah maupun hak manusia. Artinya, kecakapan ini adalah kemampuan
seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan
bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber atau sandaran dari kecakapan ini
adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat membedakan antara dua hal yang
berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah dan benar dan sebagainya. Kedua,
berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode tamyiz ini, kecakapan bertindak
hukum ini belum sempurna karena tindakan hukumnya hanya dapat dipandang sah
dalam beberapa hal tertentu. Karena itu, kecakapan bertindak seseorang yang
mumayyiz yang berakal sehat dinamakan ahliyyatul ada an-naqisah (kecakapan
bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya dapat dilakukan sesorang yang
mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna (ahliyyatul ada` kamilah), yakni
orang yang telah mencapai usia akil baligh dan berakal sehat.[14]
Sedangkan wilayah dapat diartikan sebagai hak atau kewenangan
seseorang yang mendapat legalitas syari’ untuk melakukan transaksi atas suatu
objek tertentu. Artinya, orang tersebut merupakan pemilik asli, wali atau wakil
atas suatu objek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk
mentransaksikannya.[15] Berdasarkan kedua syarat di atas, setiap
transaksi yang tidak memenuhi kedua syarat yaitu ahliyah dan wilayah maka orang
yang melakukan transaksi atau akad tersebut tidak dibenarkan oleh syara’ dan
dinyatakan batal.
2.
al-Ma’qud
‘Alaih (objek akad).
Yaitu objek akad dimana transaksi
dilakukan atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu. Objek akad
ini bisa berupa aset-aset finansial (sesuatu yang berrnilai ekonomis) atau aset
non finansial, seperti wanita dalam akad pernikahan, ataupun bisa berupa
manfaat seperti halnya dalam akad sewa-menyewa, jual beli, dan lain-lain.[16] Oleh
karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan beberapa syarat
sebagai berikut:
Ø Objek akad harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan. Tidak
diperbolehkan bertransaksi atas objek yang belum jelas. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah SAW yang
melarang siapapun menjual barang yang bukan miliknya, atau barangnya tidak
ada. Hakim bin Hazm berkata: Aku berkata
kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku
hendak membeli sesuatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjual barang dari
pasar.’ Maka Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya:“Janganlah engkau menjual apa yang tidak ada padamu”
(HR. Abu Dawud No. 3503).
Ungkapan Nabi
SAW ma laisa ‘indak (yang tidak ada padamu) bersifat umum mencakup apa yang
tidak dimiliki, barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli akibat tidak
adanya kemampuan, dan barang yang belum sempurna pemilikannya. Dengan demikian, jelas bahwa semua barang
yang tidak ada atau bukan miliknya tidak dapat diserahkan atau
diperjualbelikan. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, yang membolehkan objek akad
tidak ada saat kontrak, namun objek tersebut harus dapat dipastikan adanya
kemudian hari, sehingga bisa diserahterimakan.
Terkait dengan
itu, ulama fiqh mengecualikan beberapa bentuk akad yang barangnya belum ada.
Seperti jual beli pesanan (salam), istisna’, ijarah, dan musaqah (transaksi
antara pemilik kebun dan pengelolanya). Alasan pengecualiaan ini adalah karena
akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat
kebiasaan (‘urf ) melakukan
akad-akad seperti ini.[17] Berdasarkan
perbedaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa objek akad yang tidak ada pada
waktu akad, namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap
sah. Sebaliknya, jika objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat
dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah.
Objek akad
harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk
ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. Misalnya dalam akad jual beli, barang yang
diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang
mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi
kaum muslimin. Oleh karena itu, keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi
objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak
beragama Islam. Begitu juga barang yang belum berada dalam genggaman pemilik,
seperti ikan yang masih dalam lautan dan burung di angkasa. Atau
juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan,
juga tidak memenuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan,
dan sungai.[18]
Ø Adanya kejelasan tentang objek akad. Dalam arti, barang tersebut
diketahui secara detail oleh kadua belah pihak, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari. Artinya, bahwa objek akad tersebut tidak
mengandung unsur gharar dan bersifat
majhul (tidak diketahui).
Ø Objek akad bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau
dimungkinkan kemudian hari. Dengan
demikian, walaupun barang tersebut ada dan dimiliki, namun tidak bisa
diserahterimakan, maka akad tersebut dinyatakan batal.
3.
Sighat
al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
Sighat al-‘Aqd merupakan ungkapan yang menunjukkan
kerelaan/kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak / akad. Dalam hal ini, adanya kesesuain ijab dan
kabul (munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majelis akad. Satu majelis di sini diartikan sebagai suatu
kondisi yang memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan, atau pertemuan
pembicaraan dalam satu objek transaksi. Dalam hal ini disyaratkan adanya
kesepakatan antara kedua pihak, tidak menunjukkan adanya penolakan atau
pembatalan dari keduanya. Sighat al-‘Aqd
(Ijab dan kabul) dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk (sighat) yang dapat
menunjukkan kehendak dan kesepakatan. Bisa dengan menggunakan ucapan, tindakan,
isyarat, ataupun koresponden.[19] Namun,
seiring dengan perekembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan
secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat
untuk menyatakan kehendaknya. Artinya, terjadi pernyataan kehendak secara
diam-diam (at-ta’ati). Misalnya, jual
beli yang terjadi di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak
pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada
barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan
sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan
persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi. Dengan demikian, dalam kontek ini dapat
dikatakan bahwa ucapan dapat diungkapkan dalam berbagai macam bentuk dan yang
terpenting juga adalah ucapan / ungkapan tersebut bisa mewakili maksud dan
tujuan akad
4.
Tujuan
Akad
Tujuan akad merupakan pilar terbangunnya sebuah akad, sehingga
dengan adanya akad yang dilakukan tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu,
tujuan merupakan hal yang penting karena ini akan berpengaruh terhadap
implikasi tertentu. Tujuan akad akan berbeda untuk masing-masing akan yang
berbeda. Untuk akad jual beli, tujuan akadnya adalah pindahnya kepemilikan
barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah
(sewa-menyewa), tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang
dengan adanya upah sewa. Motif yang
dimiliki oleh seorang tidak berpengaruh terhadap bangunan akad. Akad akan tetap
sah sepanjang motif yang bertentangan dengan syara’ tidak diungkapkan secara
verbal dalam prosesi akad.[20] Misalnya,
seseorang menyewa sebuah gedung atau rumah, akad sewa tetap sah dan penyewa
berhak untuk memiliki nilai manfaat sewa serta berkewajiban untuk membayar
upah. Walaupun mungkin, ia memiliki motif akan menggunakan gedung atau rumah
tersebut untuk memproduksi narkoba.
Dengan demikian, motif dengan tujuan sangatlah berbeda karena motif
tidak bisa membatalkan akad. Kalau melihat contoh di atas, maka secara dzahir
akad tersebut tetap sah tanpa melihat yang tidak sesuai dengan syara’. Motif
seperti ini dihukumi makruh tahrim karena adanya motif yang tidak sesuai dengan
syara’. Dari penjelasan mengenai rukun
dan syarat akad di atas. Maka bisa dipahami bahwa rukun dan syarat akad merupakan
unsur yang penting dalam pembentukan sebuah akad. Oleh karena itu, ulama
merumuskan hal tersebut dalam rangka untuk mempermudah pihak yang akad dalam
menyelesaikan perselisihan yang akan muncul dikemudian hari.
2.5
Jenis-Jenis Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian
dapat dikelompokkan dalam berbagai variabel jenis-jenis akad.
Mengenai pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak
variasi penggolongannya. Secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad
antara lain:[21]
a.
Akad
menurut tujuannya terbagi atas dua jenis:
1)
Akad
Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata
karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada
unsur mencari Return atau pun motif. Akad yang termasuk dalam ketagori ini
adalah: Hibah, Waqaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qirad.
Atau dalam redaksi lainakad tabarru adalah segala macam perjanjian yang
menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada
hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.
2)
Akad
Tijari yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan
keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk
dalam kategori ini adalah: mudharabah dan musyarakah. Atau dalam redaksi lain
akad tijari adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit
transaction. Akad ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, karena
itu bersifat komersial.[22]
b.
Akad
menurut keabsahannya terbagi atas tiga jenis:
1)
Akad
Shahih (valid Contract), yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan
syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual
kepada pembeli aau perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
2)
Akad
Fasid (voidable contract) yaitu akad
yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi.
Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan
harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi
syarat tersebut, dengan kata lain akibat hukumnya adalah mawquf (berhenti dan
tertahan untuk sementara)
3)
Akad
Bathal (void contract) yaitu akad dimana
salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otoats syaratnya juga tidak
terpenuhi. Akad seperti ini tida menimblkan akibat hukum perpindaha harta
(harga/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.[23]
c.
Akad
menurut namanya, akad dibedakan menjadi:
1)
Akad
bernama (al-‘uqud al-musamma)
Yang
dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah dibentuk namnya oleh pembuat
hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya
dan tidak berlaku terhadap akad lain. Akad bernama meliputu sebagai berikut:
sewa- menyewa (al-ijarah), pemesanan (al-istshna), jual beli (al-bai’),
penangungan (al-kafalah), pemindahan hutang (al-hiwalah), pemberi kuasa
(al-wakalah), Persekutuan (asy-syirkah), bagi hasil (al-mudharabah), pegadaian
(ar-rahn), penitipan (al-wadia’ah), perutangan (al-qardh).
2)
Akad
tidak bernama (al-‘uqud ghair al-musamma)
Akad
yang tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam
kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam kata lain akad yang tidaj
bernama adalah akad yang tidaj ditentukan pembuat hukum namanya yaang khusus
serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak bernama
adalah perjanjian penerbitan, periklanan dan sebagainya.[24]
d.
Akad
menuruut kedudukannya dibedakan menjadi dua yaitu:
1)
Akad
yang pokok (al-‘aqd al-ashli)
Akad
pokok adalah adalah akda yang berdiri
sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal yang lain.
Termasuk kedalam jenis ini adalah seua akad yang keberadaannya karena dirinya
sendiri, seperti akad jual beli,
sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai dan seterusnya.
2)
Akad
asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung
kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya
akad tersebut. Termasuk kedalam kategori ini adalah akad penanggungan
(al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn). Kedua akad ini merupakan perjanjian
untuk menjamin, karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin
tidak ada.[25]
e.
Akad
dari segi unsur tempo di bagi menjadi akad bertempo dan tidak bertempo.
1)
Akad
bertempo adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam
arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam kategori
ini misalnya, akad sewa menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai, akad
pemberian kuasa, akad berlangganan majalahatau surat kabar dan lain-lain.
2)
Akad
tidak bertempo adalah akad dimana unsur waktu bukan merupakan bagian dari isi
perjanjian. Akad jual beli misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur
tempo sebagai bagian dari akad tersebut.[26]
f.
Akad
dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’ dibedakan menjadi dua.
1)
Akad
masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak
ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas
semisal jual beli, sewa menyewa, mudharabah dan sebagainya.
2)
Akad
terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat oleh akad jual
beli janin, akad donasi harta anak dibawah umum akad ang bertentangan dengan
akhlak islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk
melakukann kejahatan.[27]
g.
Akad
menurut tanggungan dibagi menjaadi dua.
1)
‘aqd
adh-dhaman adalah akad yang
mengalihkan tanggungan resiko atau kerusakan barang kepada pihak penerima
pengalihan sebagai konsekuensi dari
pelaksaan akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya
melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat
keadaan memaksa.
2)
‘aqd
al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut
merupakan amanah ditangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak
berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur
kesengajaan dan melawan hukum termasuk akad jenis ini adalah akad penitian akad
pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).[28]
2.6 Implikasi Akad dan konsekuensi
Hukumnya
Menurut ulama fiqh
setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin
dicapai sejak semula. Artinya setiap
akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan akad, memiliki tujuan dasar,
memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkannya. Seperti perpindahan kepemilikan
dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat bagi penyewa dalam akad ijarah
(sewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn, dan lainnya. Dengan
terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban di antara pihak yang berakad. Misalnya
dalam jual beli, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga atas
objek akad dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban
untuk menyerahkan barang, dan berhak menerima uang sebagai konpensasi barang.
Demikian juga akad-akad yang lain pasti memiliki akibat hukum sesuai dengan
bentuk akad yang dibentuk oleh kedua belah pihak.
Menurut para ulama fiqh, setiap akad ini mempunyai akibat hukum,
yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan
hak milik dari penjual kepada pembeli dan akad itu bersifat mengikat bagi
pihak-pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal
yang dibenarkan syara’ seperti terdapat cacat pada obyek akad atau akad itu
tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.
Dibawah
ini terdapat tiga akad dan konsekuensi hukumnya, yaitu:
1.
Akad
yang mengikat kedua belah pihak, maksud kata “mengikat” disini ialah bila suatu
akad telah selesai dijalankan dengan segala persyaratannya, maka konsekuensi
akad tersebut sepenuhnya harus dipatuhi dan siapapun tidak berhak untuk
membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan dan pihak kedua, kecuali bila terjadi
cacat pada barang yang menjadi objek akad tersebut
2.
Akad
yang mengikat salah satu pihak saja, sehingga pihak pertama tidak berhak untuk
membatalkan akad ini tanpa izin dan kerelaan pihak kedua, akan tetapi pihak
kedua berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka
3.
Akad
yang tidak mengikat kedua belah pihak, maksudnya masing-masing pihak berhak
untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka dan walaupun tanpa seizin dari
pihak kedua dan walaupun tanpa ada cacat pada obyek akad tersebut.
2.7
Kaidah Fiqh Tentang Akad
Adapun kaidah Fiqh yang
membahas tentang keridhaan dalam bertransaksi adalah sebagai berikut:
اْلأَصْلُ فِي اْلعَقْدِ
رِضَى الْمتَعَاقِدَيْنِ
Artinya:“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah
pihak yang berakad “
Maksud
dari kaidah di atas bahwa keridhaan dalam transaksi ekonomi dan bisnis
merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu, transaksi dikatakan sah apabila
didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
Kaidah
ini telah ditunjukkan oleh Al-quran dalam
surat An-nisa’ ayat 29, Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ
أمَنُوْا لَاتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَاتَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيْمًا (سورة النساء:29)
Artinya:”Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas
dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh
Allah Maha penyayang kepadamu”.
Dari
ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam transaksi perdagangan
diharuskan adanya kerelaan antara kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya
dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan adalah sesuatu yang
tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat.
Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah
terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.[29]
Adapun
kaidah di atas merupakan kaidah kecil yang diturunkan oleh asas kaidah-kaidah
fiqh, yaitu:
الضَّرَرُ يُزَالُ
Kaidah ini merupakan salah satu dari kaidah
yang sangat substansial di dalam ilmu fiqh, yang mana pada dasarnya kaidah ini
menjelaskan tentang wajib nya menghilangkan kemudharatan, berikut ayat Al-quran
yang mendasari kaidah tersebut dalam surat Al-baqarah ayat 231:[30]
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ
بِمَغْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَغْرُوْفٍ
وَلَا تَمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوْا،،،،
Artinya: Dan apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu sampai
(akhir) idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula, jangan rujuki mereka untuk
memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Ayat diatas walaupun secara eksplisit hanya menjelaskan tentang
aturan talaq, akan tetapi secara implisit melarang berbuat atau menyebabkan
bahaya kepada orang lain. Begitu pula dalam hal jual beli, harus ada saling
kerelaan antara kedua belah pihak. Pihak penjual maupun pembeli harus
menghindari adanya penipuan, dan jika ada pihak yang tertipu maka ia berkenan
membatalkan kembali transaksi dan meminta uangnya kembali, karena dasar dalam akad
adanya keridhaan dari kedua belah pihak.
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena
itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan pada keridhaan kedua belah pihak.
Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa
atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah
saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya
hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.
Berikut contohnya dalam akad jual beli salam:
a)
Pengertian
jual beli salam
Adapun jual beli salam adalah transaksi terhadap sesuatu yang
dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo dengan harga yang di
berikan kontan di tempat transaksi.[31]
Akad salam adalah penjualan sesuatu yang akan datang dengan imbalam
sesuatu yang sekarang, atau menjual sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam
tanggungan. Maksudnya, modal diberikan diawal dan menunda barang hingga tenggat
waktu tertentu. Atau dengan kata lain menyerahkan barang tukaran saat ini dengan imbalan barang yang dijelasakan sifatnya
dalam tanggungan hingga jarak waktu tertentu.
b)
Rukun
dan Syarat Jual beli salam
1.
Rukun
Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan
syaratnya. Adapun rukun salam menurut jumhur ulama ada 3 yaitu:
Ø Sighat, yaitu ijab dan Kabul
Ø ‘aqidani (dua orang yang melakukan transaksi), yaitu orang
yang memesan dan orang yang menerima
pesanan, dan
Ø Objek transaksi, yaitu harga dan barang yang dipesan.
2.
Syarat-syarat
salam
Adapun syarat-syarat dalam jual beli salam pada umumnya sebagai
berikut:
Ø Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan
terlebih dahulu.
Ø Barangnya menjadi utang bagi penjual.
Ø Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan, Berarti
pada waktu dijanjikan barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam
buah-buahan yang waktunya di tentukan bukan pada musimnya tidak sah.
Ø Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, takarannya, ataupun
bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
Ø Diketahui dan disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan
jelas, agar tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara
kedua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada
barang tersebut dapat berbeda.
Ø Disebutkan tempat menerimanya.
Para ulama sepakat bahwa akad salam dianggap sah jika terpenuhi
enam syarat, yaitu:
Ø Jenis barang diketahui
Ø Ciri-ciri barang diketahui
Ø Ukuran yang diketahui
Ø Modal yang diketahui
Ø Menyebutkan tempat penyerahan barang jika penyerahan itu
membutuhkan tenaga
Ø Biaya
Sebagaimana rukun dan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas bahwa
akad salam ialah akad penjualan barang dengan syarat-syarat dan kriteria
tertentu dan juga pembayaran dilakukan di muka. Oleh karena itu barang yang
dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Hal
tersebut bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan antara si penjual
dan pembeli. Dengan demikian, Ketika barang nya di terima tidak terjadi
perselisihan antara penjual dan pembeli mengenai barang yang bersangkutan.
Berdasarkan Uraian tentang akad salam jika kita merujuk kembali
pada kaidah akad di atas bahwa dalam
melakukan transaksi jual beli salam harus ada keridhaan antara kedua belah
pihak, pihak penjual harus menjelaskan secara detail mengenai spesifikasi
barang yang dijual sehingga adanya kejelasan yang tidak merugikan salah satu
pihak. Dan apabila pesanan tidak sesuai dengan kriteria yang telah disepakati,
maka si pembeli berhak memulangkan atau menukar kembali barang yang sudah
dipesan tersebut tanpa merugikan pihak pembeli.
Oleh karena itu, perlu di perhatikan syara-syarat dalam jual beli,
sehingga adanya saling ridha dan tanpa paksaan antara penjual dan pembeli,
adanya kejelasan dalam akad atau perjanjian. Karena seluruh akad tidaklah sempurna
kecuali disertai saling ridha antara orang-orang yang melaksanakan akad tersebut yang mana akad-akad tersebut
mengkonsekuensikan perpindahan kepemilikan dan hak dari satu pihak kepada pihak
yang lain atau merubah suatu kedaan kepada keadaan yang lain, dan kesemua itu
mengharuskan adanya kerelaan (saling ridha).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Terlepas dari semua penjelasan di atas, maka penulis di sini dapat
mengambil sebuah kesimpulan bahwa teori akad merupakan salah satu aspek yang penting
untuk dikaji dalam rangka merespon perkembangan ekonomi dan bisnis syari’ah
dewasa ini. Karena akad tersebut menentukan sah dan tidaknya transaksi yang
dilakukan. Selain itu, perlu diperhatikan juga adalah implikasi hukum terhadap
para pihak yang melakukan transaksi setelah akad tersebut terbentuk.
Oleh karena itu, para pihak yang sedang berakad hendaknya
memperhatikan penjelasan asas-asas akad yang telah ditetapkan. Sehingga
transaksi yang dilakukan benar-benar bermanfaat terhadap para pihak yang berakad,
adanya kerelaan antara kedua belah pihak sehingga tidak merugikan salah satu
pihak.
Daftar Pustaka
Afandi, Yazid. 2009. Fiqh
Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta:
Logung Pustaka.
Sudirman, Ahmad Abbas. 2004. Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif
Fiqih. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. diterjemahkan
oleh Bahrun Abubakar dkk. 1993. Tafsir Al-Maraghi, ,
Terjemahan Tafsir Al Maraghi (Juz VI).
Cet II Semarang : PT. Karya Toha Putra.
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum
Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta:
Rajawali Pers.
Ash-Shieddieqy, T.M. Hasbi. 1984. Pengantar Fiqh Muamalah.
Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1989. al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV. Damaskus: Dar al-Fikr.
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-asas Hukum Muamalat, Yogyakarta:
UII Press.
Djuwaini,
Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh
Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mardani.
2012.
Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Munawwir, A. W. 1997. Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Nurdin, Ridwan. 2010. Fiqh Muamalah (Sejarah
Hukum dan Perkembangannya), Banda Aceh: PeNA.
Shihab, M. Quraish. 2001. Tafsir
Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. (jilid 2 dan 3). Ciputat:
Lintera Hati
[1]
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 953.
[2]
Abdul Aziz Dahlan dan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1 (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeva, 2001), hlm. 63.
[3]
Dr, Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 73.
[4]
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 48
[5]
T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1984), hlm. 21.
[6]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan
Tafsir Al Maraghi, Cet. II, Juz VI, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT.
Karya Toha Putra, 1993), Juz VI, hlm. 81
[7]
Dr. Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah (Sejarah Hukum dan Perkembangannya), (Banda
Aceh:PeNA, 2010), hlm 25.
[8]
Dr. Mardani, Op. Cit., hlm 97.
[9]
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 34.
[10]
Ibid, hlm 34.
[11]
Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit., hlm 55-56.
[12]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad
dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 109.
[13]
Ibid, hlm 111
[14]
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Jilid IV) , (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), ,
hlm. 121-122.
[15]
Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit., hlm 56.
[16]
Ibid, hlm 57.
[17]
Abdul Azis Dahlan dkk, Op. Cit., hlm 65.
[18]
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum
Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm 52.
[19]
Dimyauddin Djuwaini, Op.Cit., hlm 51.
[20]
Ibid, hlm 59.
[21]
Dr. Mardani, Op. Cit., hlm 77.
[22]
Ibid, hlm 77.
[23]
Ibid, hlm 78.
[24]
Ibid, hlm 78-79
[25]
Ibid, hlm 81-82.
[26]
Ibid, hlm 82
[27]
Ibid, hlm 83-84.
[28]
Ibid, hlm 58-56
[29]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
jilid 2, (Ciputat: Lintera Hati,
2001), , hlm. 413.
[30]
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih,
(Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 2004), hlm 126.
[31]
Mardani, Op. Cit. Hlm 113.
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^