Tulisanku : Tradisi Jaga Malam Menjelang Pilkada





Dizaman yang semakin modern ini tentu kita sebagai masyarakat tidak asing lagi mendengar berita-berita  yang tentunya banyak sekali menarik perhatian khususnya dibidang politik, baik itu yang dipublikasikan melalui media cetak maupun media elektronik. Contohnya Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), istilah ini bukanlah sesuatu yang asing bagi kita,  pemilihan yang dilakukan 5 tahun sekali. Negara kita menganut sistem demokratis, tentu semua itu bergantung pada suara rakyat “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Pada kesempatan itulah masyarakat diberi kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya dan menentukan haknya, pemerintah tidak ada hak untuk  memaksa masyarakat dalam menentukan pilihannya. Tentu masyarakat akan memilih pemimpin yang menurutnya pantas untuk dipilih, pemimpin yang mempunyai simbolik serta kriteria yang sangat istimewa, yang mampu mendengar suara, keluhan, serta kritikan rakyat, pemimpin yang suka berbaur dan mempunyai sifat terbuka terhadap rakyatnya, bukan pemimpin yang hanya bisa berjanji namun tak pernah ditepati.
Salah satu daerah yang melangsungkan pilkada nantinya adalah Aceh. Seperti yang banyak orang ketahui bahwa aceh merupakan daerah yang kental akan ajaran islam, pantas saja disebut dengan serambi mekkah. Menjelang pemilihan kepala daerah ini, tradisi yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat aceh, segala sistem keamanan diperketat dari biasanya. Seperti yang terjadi dikampung-kampung, mereka melakukan ronda malam dengan mengatur jadwal berjaga setiap malamnya. Kegiatan ini dilakukan dengan salah satu alasan agar terhindar dari ancaman-ancaman luar yang ditakutkan akan mengganggu ketentraman warga sekitar.
Pertanyaan-pertanyaan pun mulai timbul dari masyarakat yang tidak mengetahui maksud dibalik “Jaga Malam”.  Mengapa masyarakat harus berjaga?, Apa yang harus ditakutka? Ancamankah, kewaspadaan, atau lainnya?
 Bukankah calon pemimpin itu sendiri yang telah menyerukan janji-janji kesejahteraan, namun ketika malam datang seakan janji kesejahteraan itu berubah menjadi suatu ancaman yang menakutkan, baik itu dari parlemen politik nya atau ada orang lain di belakangnya, apakah itu yang dinamakan menepati janji?
Apa yang harus diperebutkan? Kekuasaan? Apakah dengan berkuasa mereka bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan? Apakah dengan kekuasaan mereka bebas mambatasi hak rakyat?
Tiliklah mereka yang pernah menjadi pemipin kekuasaan seperti Rasulullah dan sahabat–sahabatnya. Mereka yang berkuasa bukan karena keinginan diri, tapi karena memang mereka benar– benar dipilih. Mereka takut akan kekuasaan, mereka takut akan kesalahan dan nafsu yang akan memperbudak mereka, maka tak bisa kita hindari ketika sejarah yang mengatakan bahwa Umar bin Khattab pada saat menjadi Khalifah, beliau pernah menangis, beliau meminta kepada Sang Khalik agar dipermudah segala urusan dengan tangisan taubat di sepanjang malamnya...
Bagaimanakah dengan pemimpin atau calon pemimpin kita saat ini, mampukah seperti mereka yang dengan malamnya selalu bertaubat dengan tangisan sebenar-benarnya taubat kepada Sang Khalik, sangat takut akan terpikulnya jabatan yang tinggi, dan sejarah lain ada yang menyebutkan, Khalifah Umar ketika malam menjelang, dengan pakaian yang sederhana menyerupai orang biasa, pergi berkeliling kampung tanpa dikenali orang, yang dengan tujuannya untuk melihat kondisi rakyatnya, melihat ketentraman rakyatnya, bahkan pernah suatu ketika Khalifah Umar masuk ke rumah nenek yang sudah tua renta, yang nenek tua itu tidak tahu bahwa itu adalah Sang Khalifah, dengan mempersilahkan masuk seperti tamu biasa, namun pada saat itu khalifah melihat kondisi ekonomi nenek itu sangat memperhatinkan, di tanyalah seperti basa – basi anatara orang yang sederajat, bagaimanakah pendapat nenek tentang Khalifah Amirul Mukminin sekarang?, nenek itu menjawab dengan tanpa rasa takutnya “Semoga Allah tidak memberi ganjaran baik kepadanya”. Umar bertanya lagi ” Mengapa nenek berkata demikian?”. Jawab nenek “Ia sangat jauh dari rakyatnya. Semenjak menjadi khalifah dia belum pernah menjenguk pondok aku ini apalagi memberi uang”. Jawab Umar “Bagaimana mungkin dia dapat mengetahui keadaan nenek sedangkan tempat ini jauh terpencil” Nenek mengeluh dan berkata “Subhanallah! tidak mungkin seorang khalifah tidak mengetahui akan keadaan rakyatnya walau dimana mereka berada”.
Mendengar kata-kata tadi Khalifah Umar tersentak lalu berkata didalam hatinya “Celakalah aku kerana semua orang dan nenek ini pun mengetahui perihal diriku”. Sayyidina Umar menyesal sambil menitiskan air mata. Saiyidina Umar berkata lagi “Wahai nenek, berapakah kamu hendak menjual kezaliman Umar terhadap nenek?. Saya kasihan kalau Umar mati nanti akan masuk neraka. Itu pun kalau nenek mahu menjualnya”. Kata nenek “Jangan engkau berguaru dengan aku yang sudah tua ini”.
Sambung Umar lagi “Saya tidak bergurau, saya betul-betul ini, berapakah nenek akan menjualnya. Saya akan menebus dosanya, mahukah nenek menerima uang sebayak 25 dinar sebagai harga kezalimanya terhadap nenek” sambil menyerahkan wang tersebut kepada nenek. “Terima kasih nak, baik benar budi mu” kata nenek sambil mengambil wang tersebut.
Sementara itu Saiyidina Ali Abu Talib bersama Abdullah bin Mas’ud lalu di kawasan itu. Melihat Khalifah Umar berada disitu, mereka pun memberi salam. “Assalamualaikum ya Amirul Mukminin”. mendengar ucapan tersebut, tahulah nenek bahwa tamu yang berbicara dengannya sebentar tadi adalah Khalifah Umar Al-Khatab. Dengan perasaan takut dan gementar nenek berkata “Masya Allah, celakalah aku dan ampunilah nenek diatas kelancangan nenek tadi ya Amirul Mukminin. Nenek telah memaki Khalifah Umar dihadapan tuan sendiri”. Rantapan nenek telah menyadarkan Saiyidina Umar.
“Tak apa-apa nek, mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada nenek” kata Sayyidina Umar. Ketika itu juga Khalifah Umar telah membuka bajunya dan menulis keterangan berikut diatas bajunya.
“Bismillahirrahmanirrahim,
Dengan ini Umar telah menebus dosanya atas kezalimannya terhadap seorang nenek yang merasa dirinya dizalimi oleh Umar, semenjak menjadi khalifah sehingga ditebusnya dosa itu dengan 25 dinar. Dengan ini jika perempuan itu mendakwa Umar di hari Mahsyar, maka Umar sudah bebas dan tidak bersangkut paut lagi”.
Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Sayyidina Ali bin Abu Talib dan di saksikan oleh Abdullah bin Mas’ud. Baju tersebut diserahkan kepada Abdullah bin Mas’ud sambil berkata “Simpahlah baju ini dan jika aku mati masukkan kedalam kain kafanku untuk dibawa mengadap Allah s.w.t.”
Dari kisah itu dapat kita ambil intisari, bagaimana seorang pemimpin sangat memperhatikan kesejahteraan, keamanan serta kemakmuran rakyat, semoga pemimpin kita kelak mampu memiliki prinsip – prinsip seperti Khalifah Umar, Indonesia pada umumnya dan Aceh pada Khususnya.
Mudahan – Mudahan Tradisi Jaga Malam menjelang Pilkada yang di lakukan sebahagian masyarakat yang ada di Aceh, bukanlah karena didasari dengan ketakutan dan kewaspadaan akan adanya PILKADA, namun hanya rasa solidaritas dan kesosialan bersama.
Tulisanku : Tradisi Jaga Malam Menjelang Pilkada
Item Reviewed: Tulisanku : Tradisi Jaga Malam Menjelang Pilkada 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!